|
Prasasti Peninggalan Kesultanan Aceh,
yang ditengarai sebagai Singgasana Sultan Aceh
|
format pdf
D.R Sejarah KerajaanIslam Kesultanan Aceh – Sumatera. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau
Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Sultan yang pertama memerintah
kesultanan aceh sekaligus pendirinya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September
1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola
dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa
Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik
dengan negara lain.
Awal mula Berdiri
Kesultanan Aceh.
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya
ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang dalam masa keruntuhan. Samudera
Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar
abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama
di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.
Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra
Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Sultan Ali Mughayat mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun
1496 yang pada mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah kerajaan lamuri.
Pemerintahaan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya
pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh diikuti dengan Aru.
|
Peninggalan kesultanan Aceh Darussalam |
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu
nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah
seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa
Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam
semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam
Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang
berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali
Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936
Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu
nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah,
yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram
737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam
Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali
Mughayat Syah.
Baca Juga:
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja
Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan
dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali
Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin
serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera
Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar
itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan
sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya
catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a,
1981:157).
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh
Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu
nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal
dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan
tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah
relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan
kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri
Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
- Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada
pihak lain.
- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan
kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara.
- Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
- Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan
politik ini tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus
tahta Kesultanan Aceh Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan
Mughayat Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh
Darussalam yang baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan
Aceh Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539,
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat
Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal
juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini
perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan
melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang
sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang
tinggal di pedalaman. Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah di Aceh
pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar yang antara lain berasal
dari Turki, Kambay, dan Malabar (Lombard,
2007:65-66).
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi
nyatanya selalu dikendalikan oleh orang kaya atau hulubalang. Hikayat Aceh
menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan
pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan
harta kerajaan pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan
adu binatang. Raja-raya dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri
periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya
sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas
pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta
Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber
timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan
60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas
Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun
pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke
Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil
(kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada
tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim
surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran
Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat
posisi kekuasaan Aceh.
Masuknya Kolonialisme
Barat
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku
bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama
runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit.
Pada 1508, atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah
memproklamirkan berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama
yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat Malaka.
Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan perlengkapan
perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis yang pertama
ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur akibat perlawanan
dari laskar tentara Kesultanan Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun belum
menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan
Aceh Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan
berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de
Britto yang tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi
Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis
membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis
kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap
mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama
Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan
ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya
dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan
yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh
Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan
Aceh Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik
Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a, 1981:187).
Sultan Ali Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani
dan penakluk yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan
Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa
kerajaan lainnya di Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan
Daya.
Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli,
Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan
Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Adil
(kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an. Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan
Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para
bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat
janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas
berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di
ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh
sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa
elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti
adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah,
mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan
ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam
mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi
terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan
besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain
mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif
Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay
Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat
kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada
untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu.
Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya
benteng Pulau Kampai.
Surat Sultan Aceh
Ibrahim Mansur Syah Kepada Presiden Perancis
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar
sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke
Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan
Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan
Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim
surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke
II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan
Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi
ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman
Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota,
Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad
untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan
Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas
diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian
manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja
berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia,
Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang
untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap
Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun
tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun
1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap
bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Sultan Aceh Muhammad
Daud Syah menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para
Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan
pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose
dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh
hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya
menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya
terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku
Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan
September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan
berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas
1910 di Gunung Halimun.
Pemerintahan
Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh
terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja
dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh
Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo
Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di
Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke
Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan
oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan).
Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh),
yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh
ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah
daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée,
Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan
dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai
yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada
peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.
Daftar Sultan Aceh
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya,
Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tiga puluh
kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di
Kesultanan Aceh Darussalam :
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sulthan Muda (1575)
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu
(1596-1604)
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1607-1636)
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri
Alam (1641-1675)
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama
)
Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan
tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh :
- Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan
sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh.
Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
- Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin
oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang, semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
- Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham
Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri, seperti Dewan Menteri atau Kabinet
kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
- Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka,
seperti Departemen Perdagangan.
- Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana
Amirul Harb, kira-kira Departemen Pertahanan.
-Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja
Panglima Wazir Mizan, seperti Departemen Kehakiman.
- Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham, seperti Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan
diantaranya
- Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
- Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus
segala Hulubalang; seperti tugas Menteri Dalam Negeri.
- Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus
urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; seperti tugas Menteri Kehutanan.
- Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus
urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar
lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk, seperti tugas Sekretaris
Negara.
Baca Juga:
Ulèëbalang &
Pembagian Wilayah
|
Wilayah kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad 14 dan 15 Masehi |
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti
Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri.
Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh
raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan
dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah
inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh
Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 -
1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily
dilakukan reformasi pembagian wilayah.
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan
daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima
Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :
- Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda
Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
- Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia
Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat
menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
- Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum
Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat
menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki
sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid
untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah
Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée
Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan
dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang
Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat
di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun
tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang
dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang
terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat
dalam sumpah yang isinya sebagai berikut :
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan
sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur
barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah
dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat
Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan
mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh,
mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua
ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang
telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah
bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral
dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul,
mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun,
dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata
mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia
selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian
disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi
rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh
mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan,
sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum
Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya. Diakhir sarakata itu
dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang
Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya,
mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil
Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh,
termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala
Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil
menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka,
kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan
ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur
Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman,
Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi.
Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai
Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh
Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian
wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda
diuraikan sebagai berikut:
1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang
kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang
kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
Sagoe XXII Mukim,
Sagoe XXV Mukim
Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa
Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah
administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang
terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum.
Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang
kepala dengan gelar Keutjhi.
2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang
dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah
di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam
terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh
Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan
oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
Perekonomian
|
Mata uang kesultanan Aceh Darussalam |
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan
diantaranya :
- Minyak tanah dari Deli,
- Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
- Kapur dari Singkil,
- Kapur Barus dan menyan dari Barus.
- Emas di pantai barat,
- Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas,
tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang
Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan. Namun di antara semua yang
menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan
Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini
$400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari
wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis,
dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.
Kebudayaan
Arsitektur
Gunongan dan Kandang
(Makam) Sultan Iskandar Tsani.
Tidak banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang
tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh
- Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan
tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Kraton Meuligoe yang
digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng
melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah
arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa
Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih
bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman Ghairah yang luas
dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun
legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya adalah
Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam
settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu
Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman,
hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah
Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah
Bustanus Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping
Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636).
Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri
dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab
al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung
Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang
keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan
terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan
Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal
Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai
sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa
melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih
pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
|
Penggambaran militer kesultanan Aceh Darussalam |
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis
oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang
Kesultanan Aceh Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap
dan mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de
Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak
memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka
sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu
rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh
Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra
Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng
Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari
Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15 (Said a,
1981:168).
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan
beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian
menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan
-Semoga Bermanfaat-