Thursday, 28 July 2016

Kerajaan Agang Nionjo

Format pdf
DR - Sebelum adanya Kerajaan Agang Nionjo, disana terdapat beberapa raja-raja kecil yaitu Arung Alekale dan Arung Pangi. Dongeng yang dipercayai yaitu pada satu masa Arung Pangi bersama pengikutnya sedang berburu binatang (Rusa) di daerah pegunungan Pangi. Ketika sampai di suatu hutan dan diatas puncak gunung Jangang-Jangangang baginda mendapati sepasang suami istri. Ketika Arung Pangi bertanya siapakah gerangan kalian?, maka pasangan suami istri tersebut tidak bisa menjawab dan mereka bahkan tidak mengetahui asal usul mereka. Kemudian Arung Pangi mengajak mereka untuk makan bersama, namun dilihatnya kedua orang tersebut tidak memakan nasi melainkan hanya memakan ikan mentah yang dibawakan kembali oleh burung-burung. Aung Pangi terkejut melihat kejadian tersebut dan bertanya tanya apakah mereka adalah taumanurung (orang turun dari langit) atau tau tompo (orang muncul dari pertiwi atau bawah)?. Kemudian Arung Pangi menamakan keduanya 'to sangiang' atau 'taumanurung'. Arung Pangi lantas mengajak keduanya untuk hidup bersama seperti saudara namun to sangiang menjawab bahwa jika dewata menghendaki maka mereka akan memikirkan ajakan Arung Pangi tersebut.
Setelah beberapa waktu berlalu maka Arung Pangi datang kembali untuk menjumpai to sangiang diatas bukit, namun kali ini Arung Pangi mengajak Arung Alekale. Kedua Arung tersebut sekali lagi mengajak to sangiang untuk hidup bersama mereka dan tinggal layaknya saudara. Namun sekali lagi to sangiang menjawab bahwa jika dewata menghendakinya barulah mereka akan memenuhi permintaan Arung Pangi dan Arung Alekale. 
Setelah beberapa tahun berlalu dan to sangiang memiliki 4 orang anak (3 putra dan 1 putri) barulah timbul hasrat to sangiang untuk meninggalkan bukit tersebut dan hidup bersama sebagaimana ajakan Arung Pangi dan Arung Alekale sewaktu dulu. Maka dikawinkanlah putrinya dengan putranya Arung Alekale.
Kemudian to sangiang bersama ketiga putranya menuruni bukit jangang-jangangang dan berkeliling mencari kediaman baru. Sampailah disuatu tempat yang mereka namai 'Rimattampawali'. Disanalah mereka tinggal dan mebuka sawah yang kemudian mereka namai 'la ponrang'.
Tidak lama setelah mereka menetap di tempat barunya, tiba-tiba saja putra sulungnya bertengkar dengan putra nomor duanya. To sangiang menyuruh kedua anaknya yang bertengkar tesebut untuk pergi kesebuah kampung yang bernama 'Soga'. Maka pergilah kedua anak tersebut ke kampung yang disuruh oleh to sangiang dan menetaplah mereka disana. Namun kembali pertengkaran terjadi yang menyebabkan to sangiang begitu kecewa dan pergi meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat tinggal baru.
Hingga suatu saat to sangiang sampai di suatu tempat dimana nampak laut yang mereka namai 'La Poncing' disanalah mereka tinggal dan membuka sawah-sawah baru yang mereka namakan 'La Mangade'. To sangiang kemudian memberikan nama tempat tinggalnya itu 'Agang Nionjo'.
Setelah beberapa lamanya waktu berlalu tak lama kedua anak to sangiang bertengkar kembali. Kemudian to sangiang seperti putus asa dan meminta bantuan Karaeng Segeri untuk menyelesaikan pertengkaran kedua anaknya tersebut. Setelah berjumpa raja Segeri, to sangiang kemudian menyampaikan permintaannya dihadapan raja Segeri maka bergegaslah raja Segeri memenuhi permintaan to sangiang dan mendatangi Agang Nionjo. Setelah pertengkaran tersebut dapat diselesaikan oleh raja Segeri maka to sangiang merasa sangat berhutang budi dengan raja Segeri. Kemudian to sangiang bersama rakyat Agang Nionjo meminta raja Segeri untuk menjadi raja di Agang Nionjo. Dipenuhilah sekali lagi permintaan to sangiang dan raja Segeri menjadi raja di Agang Nionjo setelah dilaksanakan pelantikan oleh to sangiang. Beliau menjadi raja pertama di Agang Nionjo dengan gelar 'Datu GollaE'. Beliau adalah juga kemenakan dari Raja Gowa Tunipalangga, Datu GollaE kemudian mengangkat anak to sangiang sebagai 'Pangara Wampang' dengan gelaran 'Puang Lolo Ujung' yang menjalankan pemerintahan diatas negeri Agang Nionjo dengan atas nama raja.
Datu GollaE berhasil berhasil memajukan Agang Nionjo dibidang pertanian dan perikanan dan dalam waktu sebentar keadaan rakyat Agang Nionjo menjadi makmur. Setelah sepuluh tahun lamanya Datu GollaE menjalankan pemerintahan di Agang Nionjo kemudian beliau wafat dan digantikan oleh anaknya to sangiang yang menjadi Pangara Wampang (Puang Lolo Ujung). Namun setelah tiga tahun memerintah, rakyat Agang Nionjo menderita kelaparan yang sangat hebat dan semua hasil pertanian dan perikanan tidak ada yang berhasil. To sangiang dan keluarganya akhirnya mengasingkan diri ke pegunungan karena merasa dirinya dan keturunannya tidak layak sebagai raja.
Setelah ditinggal oleh to sangiang maka rakyat Agang Nionjo kembali menjumpai raja Segeri 'MatinroE ri Bokokajuru'na' (tidak diketahui namanya). Maka diteruskanlah usaha-usaha yang pernah dibuat oleh pendahulunya yaitu Datu GollaE untuk menjadikan Agang Nionjo sebagai satu negeri yang makmur.  

Diriwayatkan bahwa pada suatu masa Karaeng Agang Nionjo melihat banyak perahu berlayar dimuka kota Agang Nionjo dan beliau segera menyuruh Pabicara Agang Nionjo untuk pergi kelaut dan menanyakan hendak kemana orang ramai tersebut berlayar?.
Bergegaslah Pabicara tersebut kelaut dan memperoleh keterangan bahwa perahu-perahu tersebut adalah rombongan addatuang Sawitto yang berlayar menuju ke kerajaan Gowa. Setelah mengetahui maksud dan tujuan addatuang Sawitto maka karaeng Agang Nionjo segera mencoba menggagalkan usaha addatuang Sawitto untuk memerangi kerajaan Gowa. Diajaklah addatuang Sawitto beserta seluruh rombongannya untuk beristirahat sementara waktu di Agang Nionjo dan mengadakan sabung ayam. Setelah menyetujui ajakan karaeng Agang Nionjo maka berlayarlah addatuang Sawitto beserta rombongan masuk ke muara sungai Cinekko dan mendarat sampai ke kampung-kampung. Setelah mendarat, Pabicara Agang Nionjo bertanya kepada addatuang Sawitto, kapan beliau hendak memulai permainan sabung ayam tersebut?. Namun addatuang Sawitto mengakatan bahwa beliau hanya akan bersabung ayam dengan sombayya Gowa. Mengetahui maksud addatuang Sawitto untuk memerangi sombayya Gowa maka karaeng Agang Nionjo mengirimkan uang sejumlah satu kati dan satu tahil, dua ekor kerbau hitam, empat puluh gantung beras, dan sebuah belubu berisi air. Namun addatuang Sawitto dengan cepat menolak pemberian karaeng Agang Nionjo tersebut. Maka karang Agang Nionjo betul-betul merasa bahwa addatuang Sawitto tidak mau berdamai dengan sombayya Gowa.
Kemudian terjadilah pertempuran antara laskar-laskar karaeng Agang Nionjo dengan addatuang Sawitto. Pertempuran tersebut berlangsung hingga beberapa hari lamanya dengan kekalahan dipihak addatuang Sawitto. Setelah mengalami kekalahan maka addatuang Sawitto beserta rombongan kembali ke negerinya.
Tidak lama kemudian karaeng Agang Nionjo menghadap sombayya Gowa untuk melaporkan pertempuran tersebut. Sombayya Gowa merasa gembira atas hasil yang dicapai oleh karaeng Agang Nionjo dan dimasukkanlah Agang Nionjo dalam kekuasaan kerajaan Gowa.
Pada masa pemerintahan karaeng Agang Nionjo bernama 'Daeng Ngasseng' berdatanglah orang-orang dari Malaka dan Sumatra tinggal diwilayah Agang Nionjo. Setelah daeng Ngasseng wafat maka digantikan oleh 'Torijallo ri Addanenna'.
Sebagaimana pendahulunya, karaeng Agang Nionjo juga suka menghadap sombayya Gowa. Beliau juga gemar menyabung ayam hingga suatu waktu berselisih dengan orang-orang Wajo yang mengakibatkan pertempuran antara orang-orang Wajo dengan orang-orang Agang Nionjo. Pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh orang-orang Agang Nionjo dan orang-orang Wajo kembali ke negerinya setelah membayar denda sepuluh kati emas kepada karaeng Agang Nionjo.
Karaeng Torijallo mempunyai beberapa istri di beberapa negeri dan anak-anaknya tersebar di Mandar, Sawitto, Soppeng, Barru, Labbakang, Bulo-bulo, dll. Salah seorang saudaranya diangkat menjadi raja di Barru. Karaeng Torijallo wafat ditusuk oleh orang gila dan beliau diberi gelar 'Torijallo ri Addanenna'.
Setelah wafat beliau digantikan oleh 'Daeng Sinjai' (tidak diketahui nama aslinya). Karaeng ini dikenal suka berburu, jujur, pintar, dan suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaannya. Agang Nionjo semakin bertambah makmur rakyatnya dibawah kepemimpinan daeng Sinjai.
Setelah daeng Sinjai wafat maka beliau digantikan oleh 'Tunaburu Linenna' (yang rusak tangannya). Beliau juga tidak diketahui nama aslinya, beliau digelar demikian karena rusak tangannya akibat dipatuk burung enggang.
Diriwayatkan bahwa pada suatu masa ada seorang putra dari pajung Luwu (Raja Luwu) mati tenggelam dilaut sewaktu menyeberang ditanjung Ujung Lampa (antara Selayar dengan Bira). Jenazah putra raja Luwu itu berhasil diambil oleh raja Tanete (sebuah kerajaan kecil di Selayar). Opu Tanete (raja Tanete) membawa jenazah tersebut dalam peti kehadapan raja Gowa. Sewaktu tiba di Gowa yang kebetulan juga ada karaeng Agang Nionjo. Maka raja Gowa meminta karaeng Agang Nionjo untuk mengawal Opu Tanete untuk menghantar jenazah putra pajung Luwu tersebut kembali ke negerinya. Untuk memperingati peristiwa tersebut dan mempererat hubungan antara Tanete (Selayar) dengan Agang Nionjo, maka mulai pada waktu itu Agang Nionjo dirubah namanya menjadi Tanete, senama dengan Tanete di Selayar itu. 


Diriwayatkan selanjutnya, bahwa pada masa pemerintahan Daeng Sinjai, ada seorang raja perempuan (tidak diketahui namanya) yang berasal dari Johor (Malaya) datang dan tinggal di Tanete (Agang Nionjo) didekat muara sungai.
Ia datang dengan usungan kerajaan yang disebut 'Panca'. Oleh sebab itu maka tempat dimana raja perempuan itu berdiam disebut 'Pancana'. Tempat itu menjadi kerajaan tersendiri dalam lingkungan kerajaan Tanete. Raja perempuan itu meninggalkan Johor karena berselisih dengan saudaranya yang menjadi raja disana.
Setelah Daeng Sinjai wafat, maka beliau digantikan oleh 'Petta TosugiE' (raja yang kaya), tidak diketahui nama aslinya. Beliau digelar juga 'Petta lase-laseE' (raja yang suka mengebiri). Digelar demikian, karena ia mempunyai banyak istri dan juga perempuan peliharaan dan setiap laki-laki yang ditugaskan menjaga istri dan perempuan-perempuan peliharaannya itu harus dikebiri untuk mencegah terjadinya perhubungan seks.
Semasa pemerintahannya, Tanete tetap makmur seperti yang lalu-lalu, bahkan lebih banyak lagi orang-orang datang untuk berdagang dan tinggal disana. Pada waktu raja Tallo dan raja Gowa mulai masuk Islam pada awal abad ke XVII, raja Tanete tersebut segera juga masuk Islam. Beliau memperistri raja perempuan yang dari Johor itu dan mengangkatnya menjadi raja di Lipukasi yang masuk lingkungan kerajaan Tanete.
Setelah Petta TosguiE wafat, maka beliau digantikan oleh 'Petta MatinroE ri Bliana'(tidak diketahui nama aslinya). Pada masanya itulah 'La Tenritatta Toapatunru Arung Palakka' melarikan diri masuk ke Tanete. Waktu itu La Tenritatta Arung Palakka dikejar oleh laskar Gowa karena beliau memberontak terhadap kerajaan Gowa. Dengan secara rahasia dan licin raja Tanete dapat berhasil meloloskan La Tenritatta Arung Palakka dari daerah Tanete.
Setelah Petta MatintoE ri Buliana mengundurkan diri dari takhta karena sudah terlalu lanjut usianya, maka beliau digantikan oleh putranya yang bernama 'Daeng Mattulu'. Raja ini tidak suka datang menghadap raja Gowa, bahkan beliau bersimpati kepada La Tenritatta Arung Palakka.
Daeng Mattulu mengundurkan diri dari pemerintahan dan beliau digantikan oleh adiknya yang bernama 'La Mappajanei Daeng Matajang'. beliau kawin dengan We Tenriabi Datu Mario, saudara kandung dari La Tenritatta Arung Palakka. Istri itu kemudian lazim disebut MatinroE ri Bolasadana.
Sewaktu raja Gowa Sultan Hasanuddin kalah dalam peperangan melawan Belanda dan Arung Palakka pada tahun 1667, raja Tanete tersebut turut juga menandatangani perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, sebagai pengakuan persahabatan dengan kompeni Belanda. Dari perkawinan raja Tanete 'La Mappajanei Daeng Matajang', lahir seorang putri yang bernama 'We Pattekkana Daeng Tunisanga'.
Setelah La Mapapjenai wafat, maka putrinya tersebut diangkat oleh rakyat Tanete menjadi raja (datu) di Tanete. Raja We Pattekkana kawin dengan Pajung Luwu yang bernama 'To Palaguna Sultan Muhammad Muhiddin MatinroE ri Langkanana'. Dari perkawinan itu lahirlah beberapa anak diantaranya putri yang bernama 'Batara Tungke' (kemudian menjadi Pajung di Luwu dengan gelar 'Sulatanah Fatimah'). Putri ini kemudian diperistrikan oleh sepupunya yang bernama La Tumpangnega Opu Canning, dari perkawinannya lahirlah seorang putra yang bernama 'La Tenrioddang Sultan Pakhruddin' menjadi raja di Tanete. 'We Tenrileleang' tersebut kawin untuk pertama kalinya dengan 'La Mappaselli Arung Patojo'. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putra yang bernama 'La Mappajanci Daeng Massunro (kemudian menjadi Datu di Soppeng) dan seorang putri yang bernama 'We Tanriabeng Datu Patojo (Datu Wotu), yang kawin dengan 'Pallawagau Arung Enneng' di Wajo. Setelah La Mappaselli Arung Patojo wafat, karena dibunuh oleh iparnya yaitu 'La Tenrioddang Sultan Yusuf Pakhruddin' oleh sesuatu perselisihan, maka beliau digantikan oleh putrinya yaitu 'We Tenrileleang' menjadi Pajung di Luwu.
Dari perkawinan We Tentileleang dengan La Mallarangeng tersebut maka lahirlah beberapa anak diantaranya 'La Maddussila Towapangewa' dan 'La Tenrisessu Arung Pancana'. Pada masa We Tenrileleang menjadi Pajung di Luwu, La Tenrisessu Arung Pancana menjadi Opu Canning. Pada suatu masa La Tenrisessu Arung Pancana berselisih dengan pembesar-pembesar kerajaan Luwu (hadat Luwu), sehingga Arung Pancana terpaksa meninggalkan Luwu dan pergi ke Wajo dan Soppeng.
Akibat dari peristiwa itu maka ibundanya yakni Pajung Luwu 'We Tenrileleang' turun tahta dan pergi ke tanah Bugis. Kemudian beliau kembali menjadi kembali menjadi pajung di Luwu, akan tetapi tidak lama dan beliau kembali lagi ke Tanete. Sementara itu La Tenrioddang Sultan Pakhruddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan Tanete, dan beliau digantikan oleh saudaranya yaitu 'We Tenrileleang (bekas pajung di Luwu)' menjadi raja di Tanete.
Tidak lama kemudian beliau mengundurkan diri dari pemerintahan di Tanete untuk digantikan oleh putranya yang bernama 'La Maddusila Towapangewa' menjadi raja di Tanete. Entah berapa lama beliau menduduki tahta kerajaan Tanete, beliau berselisih paham dengan saudaranya yaitu 'La Tenrisessu Arung Pancana'. Dalam peristiwa itu terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Jawa (1741-1745) terhadap kompeni Belanda. Kompeni meminta bantuan dari raja Tanete We Tenrileleang untuk menumpas pemberontakan itu di Jakarta dan Semarang. We Tenrileleang mengirimkan saudaranya yang bernama La Tenrioddang Sultan Pakhruddin dan putranya yang bernama La Tenrisessu Arung Pancana ke Jawa untuk membantu kompeni Belanda menumpas pemberontakan orang-orang Cina disana. La Tenrioddang bersama kemenakannya dapat menunjukkan keberaniannya dalam pertempuran melawan orang-orang Cina, pemberontakan tersebut dapat segera ditumpas.
Adapun La Tenrioddang Sultan Pakhruddin terkenal suka sekali berperang. Beliau pernah juga diangkat oleh Hadat Soppeng menjadi raja (datu) di Soppeng. Beliau pernah mengadakan kudeta terhadap raja perempuan yang bernama 'Bataritoja Siti Zaenab Daeng Talanga MatinroE ri Tippuluna' dan juga berperang dengan raja Bone yaitu 'La Temmasonge MatinroE ri Malimongeng'. Terakhir La Tenridoddang Sultan Pakhruddin berperang dengan Arung Nepo (Pare-Pare), dalam peperangan tersebut beliau tewas, sehingga digelari 'MatinroE ri Musu'na' (yang wafat dalam peperangan)

-Semoga Bermanfaat-

No comments:

Post a Comment