Format pdf
DR - Sebelum adanya Kerajaan Agang Nionjo, disana terdapat beberapa raja-raja kecil yaitu Arung Alekale dan Arung Pangi. Dongeng yang dipercayai yaitu pada satu masa Arung Pangi bersama pengikutnya sedang berburu binatang (Rusa) di daerah pegunungan Pangi. Ketika sampai di suatu hutan dan diatas puncak gunung Jangang-Jangangang baginda mendapati sepasang suami istri. Ketika Arung Pangi bertanya siapakah gerangan kalian?, maka pasangan suami istri tersebut tidak bisa menjawab dan mereka bahkan tidak mengetahui asal usul mereka. Kemudian Arung Pangi mengajak mereka untuk makan bersama, namun dilihatnya kedua orang tersebut tidak memakan nasi melainkan hanya memakan ikan mentah yang dibawakan kembali oleh burung-burung. Aung Pangi terkejut melihat kejadian tersebut dan bertanya tanya apakah mereka adalah taumanurung (orang turun dari langit) atau tau tompo (orang muncul dari pertiwi atau bawah)?. Kemudian Arung Pangi menamakan keduanya 'to sangiang' atau 'taumanurung'. Arung Pangi lantas mengajak keduanya untuk hidup bersama seperti saudara namun to sangiang menjawab bahwa jika dewata menghendaki maka mereka akan memikirkan ajakan Arung Pangi tersebut.
DR - Sebelum adanya Kerajaan Agang Nionjo, disana terdapat beberapa raja-raja kecil yaitu Arung Alekale dan Arung Pangi. Dongeng yang dipercayai yaitu pada satu masa Arung Pangi bersama pengikutnya sedang berburu binatang (Rusa) di daerah pegunungan Pangi. Ketika sampai di suatu hutan dan diatas puncak gunung Jangang-Jangangang baginda mendapati sepasang suami istri. Ketika Arung Pangi bertanya siapakah gerangan kalian?, maka pasangan suami istri tersebut tidak bisa menjawab dan mereka bahkan tidak mengetahui asal usul mereka. Kemudian Arung Pangi mengajak mereka untuk makan bersama, namun dilihatnya kedua orang tersebut tidak memakan nasi melainkan hanya memakan ikan mentah yang dibawakan kembali oleh burung-burung. Aung Pangi terkejut melihat kejadian tersebut dan bertanya tanya apakah mereka adalah taumanurung (orang turun dari langit) atau tau tompo (orang muncul dari pertiwi atau bawah)?. Kemudian Arung Pangi menamakan keduanya 'to sangiang' atau 'taumanurung'. Arung Pangi lantas mengajak keduanya untuk hidup bersama seperti saudara namun to sangiang menjawab bahwa jika dewata menghendaki maka mereka akan memikirkan ajakan Arung Pangi tersebut.
Setelah
beberapa waktu berlalu maka Arung Pangi datang kembali untuk menjumpai
to sangiang diatas bukit, namun kali ini Arung Pangi mengajak Arung
Alekale. Kedua Arung tersebut sekali lagi mengajak to sangiang untuk
hidup bersama mereka dan tinggal layaknya saudara. Namun sekali lagi to
sangiang menjawab bahwa jika dewata menghendakinya barulah mereka akan
memenuhi permintaan Arung Pangi dan Arung Alekale.
Setelah
beberapa tahun berlalu dan to sangiang memiliki 4 orang anak (3 putra
dan 1 putri) barulah timbul hasrat to sangiang untuk meninggalkan bukit
tersebut dan hidup bersama sebagaimana ajakan Arung Pangi dan Arung
Alekale sewaktu dulu. Maka dikawinkanlah putrinya dengan putranya Arung
Alekale.
Kemudian to sangiang bersama ketiga
putranya menuruni bukit jangang-jangangang dan berkeliling mencari
kediaman baru. Sampailah disuatu tempat yang mereka namai
'Rimattampawali'. Disanalah mereka tinggal dan mebuka sawah yang
kemudian mereka namai 'la ponrang'.
Tidak lama
setelah mereka menetap di tempat barunya, tiba-tiba saja putra sulungnya
bertengkar dengan putra nomor duanya. To sangiang menyuruh kedua
anaknya yang bertengkar tesebut untuk pergi kesebuah kampung yang
bernama 'Soga'. Maka pergilah kedua anak tersebut ke kampung yang
disuruh oleh to sangiang dan menetaplah mereka disana. Namun kembali
pertengkaran terjadi yang menyebabkan to sangiang begitu kecewa dan
pergi meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat tinggal baru.
Hingga
suatu saat to sangiang sampai di suatu tempat dimana nampak laut yang
mereka namai 'La Poncing' disanalah mereka tinggal dan membuka
sawah-sawah baru yang mereka namakan 'La Mangade'. To sangiang kemudian
memberikan nama tempat tinggalnya itu 'Agang Nionjo'.
Setelah
beberapa lamanya waktu berlalu tak lama kedua anak to sangiang
bertengkar kembali. Kemudian to sangiang seperti putus asa dan meminta
bantuan Karaeng Segeri untuk menyelesaikan pertengkaran kedua anaknya
tersebut. Setelah berjumpa raja Segeri, to sangiang kemudian
menyampaikan permintaannya dihadapan raja Segeri maka bergegaslah raja
Segeri memenuhi permintaan to sangiang dan mendatangi Agang Nionjo.
Setelah pertengkaran tersebut dapat diselesaikan oleh raja Segeri maka
to sangiang merasa sangat berhutang budi dengan raja Segeri. Kemudian to
sangiang bersama rakyat Agang Nionjo meminta raja Segeri untuk menjadi
raja di Agang Nionjo. Dipenuhilah sekali lagi permintaan to sangiang dan
raja Segeri menjadi raja di Agang Nionjo setelah dilaksanakan
pelantikan oleh to sangiang. Beliau menjadi raja pertama di Agang Nionjo
dengan gelar 'Datu GollaE'. Beliau adalah juga kemenakan dari Raja Gowa
Tunipalangga, Datu GollaE kemudian mengangkat anak to sangiang sebagai
'Pangara Wampang' dengan gelaran 'Puang Lolo Ujung' yang menjalankan
pemerintahan diatas negeri Agang Nionjo dengan atas nama raja.
Datu
GollaE berhasil berhasil memajukan Agang Nionjo dibidang pertanian dan
perikanan dan dalam waktu sebentar keadaan rakyat Agang Nionjo menjadi
makmur. Setelah sepuluh tahun lamanya Datu GollaE menjalankan
pemerintahan di Agang Nionjo kemudian beliau wafat dan digantikan oleh
anaknya to sangiang yang menjadi Pangara Wampang (Puang Lolo Ujung).
Namun setelah tiga tahun memerintah, rakyat Agang Nionjo menderita
kelaparan yang sangat hebat dan semua hasil pertanian dan perikanan
tidak ada yang berhasil. To sangiang dan keluarganya akhirnya
mengasingkan diri ke pegunungan karena merasa dirinya dan keturunannya
tidak layak sebagai raja.
Setelah ditinggal oleh
to sangiang maka rakyat Agang Nionjo kembali menjumpai raja Segeri
'MatinroE ri Bokokajuru'na' (tidak diketahui namanya). Maka
diteruskanlah usaha-usaha yang pernah dibuat oleh pendahulunya yaitu
Datu GollaE untuk menjadikan Agang Nionjo sebagai satu negeri yang
makmur.
Diriwayatkan bahwa pada suatu masa Karaeng Agang Nionjo melihat
banyak perahu berlayar dimuka kota Agang Nionjo dan beliau segera
menyuruh Pabicara Agang Nionjo untuk pergi kelaut dan menanyakan hendak
kemana orang ramai tersebut berlayar?.
Bergegaslah
Pabicara tersebut kelaut dan memperoleh keterangan bahwa perahu-perahu
tersebut adalah rombongan addatuang Sawitto yang berlayar menuju ke
kerajaan Gowa. Setelah mengetahui maksud dan tujuan addatuang Sawitto
maka karaeng Agang Nionjo segera mencoba menggagalkan usaha addatuang
Sawitto untuk memerangi kerajaan Gowa. Diajaklah addatuang Sawitto
beserta seluruh rombongannya untuk beristirahat sementara waktu di Agang
Nionjo dan mengadakan sabung ayam. Setelah menyetujui ajakan karaeng
Agang Nionjo maka berlayarlah addatuang Sawitto beserta rombongan masuk
ke muara sungai Cinekko dan mendarat sampai ke kampung-kampung. Setelah
mendarat, Pabicara Agang Nionjo bertanya kepada addatuang Sawitto, kapan
beliau hendak memulai permainan sabung ayam tersebut?. Namun addatuang
Sawitto mengakatan bahwa beliau hanya akan bersabung ayam dengan
sombayya Gowa. Mengetahui maksud addatuang Sawitto untuk memerangi
sombayya Gowa maka karaeng Agang Nionjo mengirimkan uang sejumlah satu
kati dan satu tahil, dua ekor kerbau hitam, empat puluh gantung beras,
dan sebuah belubu berisi air. Namun addatuang Sawitto dengan cepat
menolak pemberian karaeng Agang Nionjo tersebut. Maka karang Agang
Nionjo betul-betul merasa bahwa addatuang Sawitto tidak mau berdamai
dengan sombayya Gowa.
Kemudian terjadilah
pertempuran antara laskar-laskar karaeng Agang Nionjo dengan addatuang
Sawitto. Pertempuran tersebut berlangsung hingga beberapa hari lamanya
dengan kekalahan dipihak addatuang Sawitto. Setelah mengalami kekalahan
maka addatuang Sawitto beserta rombongan kembali ke negerinya.
Tidak
lama kemudian karaeng Agang Nionjo menghadap sombayya Gowa untuk
melaporkan pertempuran tersebut. Sombayya Gowa merasa gembira atas hasil
yang dicapai oleh karaeng Agang Nionjo dan dimasukkanlah Agang Nionjo
dalam kekuasaan kerajaan Gowa.
Pada masa
pemerintahan karaeng Agang Nionjo bernama 'Daeng Ngasseng' berdatanglah
orang-orang dari Malaka dan Sumatra tinggal diwilayah Agang Nionjo.
Setelah daeng Ngasseng wafat maka digantikan oleh 'Torijallo ri
Addanenna'.
Sebagaimana pendahulunya, karaeng
Agang Nionjo juga suka menghadap sombayya Gowa. Beliau juga gemar
menyabung ayam hingga suatu waktu berselisih dengan orang-orang Wajo
yang mengakibatkan pertempuran antara orang-orang Wajo dengan
orang-orang Agang Nionjo. Pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh
orang-orang Agang Nionjo dan orang-orang Wajo kembali ke negerinya
setelah membayar denda sepuluh kati emas kepada karaeng Agang Nionjo.
Karaeng
Torijallo mempunyai beberapa istri di beberapa negeri dan anak-anaknya
tersebar di Mandar, Sawitto, Soppeng, Barru, Labbakang, Bulo-bulo, dll.
Salah seorang saudaranya diangkat menjadi raja di Barru. Karaeng
Torijallo wafat ditusuk oleh orang gila dan beliau diberi gelar
'Torijallo ri Addanenna'.
Setelah wafat beliau
digantikan oleh 'Daeng Sinjai' (tidak diketahui nama aslinya). Karaeng
ini dikenal suka berburu, jujur, pintar, dan suka bermusyawarah dengan
pembesar-pembesar kerajaannya. Agang Nionjo semakin bertambah makmur
rakyatnya dibawah kepemimpinan daeng Sinjai.
Setelah
daeng Sinjai wafat maka beliau digantikan oleh 'Tunaburu Linenna' (yang
rusak tangannya). Beliau juga tidak diketahui nama aslinya, beliau
digelar demikian karena rusak tangannya akibat dipatuk burung enggang.
Diriwayatkan
bahwa pada suatu masa ada seorang putra dari pajung Luwu (Raja Luwu)
mati tenggelam dilaut sewaktu menyeberang ditanjung Ujung Lampa (antara
Selayar dengan Bira). Jenazah putra raja Luwu itu berhasil diambil oleh
raja Tanete (sebuah kerajaan kecil di Selayar). Opu Tanete (raja Tanete)
membawa jenazah tersebut dalam peti kehadapan raja Gowa. Sewaktu tiba
di Gowa yang kebetulan juga ada karaeng Agang Nionjo. Maka raja Gowa
meminta karaeng Agang Nionjo untuk mengawal Opu Tanete untuk menghantar
jenazah putra pajung Luwu tersebut kembali ke negerinya. Untuk
memperingati peristiwa tersebut dan mempererat hubungan antara Tanete
(Selayar) dengan Agang Nionjo, maka mulai pada waktu itu Agang Nionjo
dirubah namanya menjadi Tanete, senama dengan Tanete di Selayar itu.
Diriwayatkan selanjutnya, bahwa pada masa pemerintahan Daeng
Sinjai, ada seorang raja perempuan (tidak diketahui namanya) yang
berasal dari Johor (Malaya) datang dan tinggal di Tanete (Agang Nionjo)
didekat muara sungai.
Ia datang dengan usungan
kerajaan yang disebut 'Panca'. Oleh sebab itu maka tempat dimana raja
perempuan itu berdiam disebut 'Pancana'. Tempat itu menjadi kerajaan
tersendiri dalam lingkungan kerajaan Tanete. Raja perempuan itu
meninggalkan Johor karena berselisih dengan saudaranya yang menjadi raja
disana.
Setelah Daeng Sinjai wafat, maka beliau
digantikan oleh 'Petta TosugiE' (raja yang kaya), tidak diketahui nama
aslinya. Beliau digelar juga 'Petta lase-laseE' (raja yang suka
mengebiri). Digelar demikian, karena ia mempunyai banyak istri dan juga
perempuan peliharaan dan setiap laki-laki yang ditugaskan menjaga istri
dan perempuan-perempuan peliharaannya itu harus dikebiri untuk mencegah
terjadinya perhubungan seks.
Semasa
pemerintahannya, Tanete tetap makmur seperti yang lalu-lalu, bahkan
lebih banyak lagi orang-orang datang untuk berdagang dan tinggal disana.
Pada waktu raja Tallo dan raja Gowa mulai masuk Islam pada awal abad ke
XVII, raja Tanete tersebut segera juga masuk Islam. Beliau memperistri
raja perempuan yang dari Johor itu dan mengangkatnya menjadi raja di
Lipukasi yang masuk lingkungan kerajaan Tanete.
Setelah
Petta TosguiE wafat, maka beliau digantikan oleh 'Petta MatinroE ri
Bliana'(tidak diketahui nama aslinya). Pada masanya itulah 'La
Tenritatta Toapatunru Arung Palakka' melarikan diri masuk ke Tanete.
Waktu itu La Tenritatta Arung Palakka dikejar oleh laskar Gowa karena
beliau memberontak terhadap kerajaan Gowa. Dengan secara rahasia dan
licin raja Tanete dapat berhasil meloloskan La Tenritatta Arung Palakka
dari daerah Tanete.
Setelah Petta MatintoE ri
Buliana mengundurkan diri dari takhta karena sudah terlalu lanjut
usianya, maka beliau digantikan oleh putranya yang bernama 'Daeng
Mattulu'. Raja ini tidak suka datang menghadap raja Gowa, bahkan beliau
bersimpati kepada La Tenritatta Arung Palakka.
Daeng
Mattulu mengundurkan diri dari pemerintahan dan beliau digantikan oleh
adiknya yang bernama 'La Mappajanei Daeng Matajang'. beliau kawin dengan
We Tenriabi Datu Mario, saudara kandung dari La Tenritatta Arung
Palakka. Istri itu kemudian lazim disebut MatinroE ri Bolasadana.
Sewaktu
raja Gowa Sultan Hasanuddin kalah dalam peperangan melawan Belanda dan
Arung Palakka pada tahun 1667, raja Tanete tersebut turut juga
menandatangani perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, sebagai
pengakuan persahabatan dengan kompeni Belanda. Dari perkawinan raja
Tanete 'La Mappajanei Daeng Matajang', lahir seorang putri yang bernama
'We Pattekkana Daeng Tunisanga'.
Setelah La
Mapapjenai wafat, maka putrinya tersebut diangkat oleh rakyat Tanete
menjadi raja (datu) di Tanete. Raja We Pattekkana kawin dengan Pajung
Luwu yang bernama 'To Palaguna Sultan Muhammad Muhiddin MatinroE ri
Langkanana'. Dari perkawinan itu lahirlah beberapa anak diantaranya
putri yang bernama 'Batara Tungke' (kemudian menjadi Pajung di Luwu
dengan gelar 'Sulatanah Fatimah'). Putri ini kemudian diperistrikan oleh
sepupunya yang bernama La Tumpangnega Opu Canning, dari perkawinannya
lahirlah seorang putra yang bernama 'La Tenrioddang Sultan Pakhruddin'
menjadi raja di Tanete. 'We Tenrileleang' tersebut kawin untuk pertama
kalinya dengan 'La Mappaselli Arung Patojo'. Dari perkawinan tersebut
lahirlah seorang putra yang bernama 'La Mappajanci Daeng Massunro
(kemudian menjadi Datu di Soppeng) dan seorang putri yang bernama 'We
Tanriabeng Datu Patojo (Datu Wotu), yang kawin dengan 'Pallawagau Arung
Enneng' di Wajo. Setelah La Mappaselli Arung Patojo wafat, karena
dibunuh oleh iparnya yaitu 'La Tenrioddang Sultan Yusuf Pakhruddin' oleh
sesuatu perselisihan, maka beliau digantikan oleh putrinya yaitu 'We
Tenrileleang' menjadi Pajung di Luwu.
Dari
perkawinan We Tentileleang dengan La Mallarangeng tersebut maka lahirlah
beberapa anak diantaranya 'La Maddussila Towapangewa' dan 'La
Tenrisessu Arung Pancana'. Pada masa We Tenrileleang menjadi Pajung di
Luwu, La Tenrisessu Arung Pancana menjadi Opu Canning. Pada suatu masa
La Tenrisessu Arung Pancana berselisih dengan pembesar-pembesar kerajaan
Luwu (hadat Luwu), sehingga Arung Pancana terpaksa meninggalkan Luwu
dan pergi ke Wajo dan Soppeng.
Akibat dari
peristiwa itu maka ibundanya yakni Pajung Luwu 'We Tenrileleang' turun
tahta dan pergi ke tanah Bugis. Kemudian beliau kembali menjadi kembali
menjadi pajung di Luwu, akan tetapi tidak lama dan beliau kembali lagi
ke Tanete. Sementara itu La Tenrioddang Sultan Pakhruddin mengundurkan
diri dari tahta kerajaan Tanete, dan beliau digantikan oleh saudaranya
yaitu 'We Tenrileleang (bekas pajung di Luwu)' menjadi raja di Tanete.
Tidak
lama kemudian beliau mengundurkan diri dari pemerintahan di Tanete
untuk digantikan oleh putranya yang bernama 'La Maddusila Towapangewa'
menjadi raja di Tanete. Entah berapa lama beliau menduduki tahta
kerajaan Tanete, beliau berselisih paham dengan saudaranya yaitu 'La
Tenrisessu Arung Pancana'. Dalam peristiwa itu terjadi pemberontakan
orang-orang Cina di Jawa (1741-1745) terhadap kompeni Belanda. Kompeni
meminta bantuan dari raja Tanete We Tenrileleang untuk menumpas
pemberontakan itu di Jakarta dan Semarang. We Tenrileleang mengirimkan
saudaranya yang bernama La Tenrioddang Sultan Pakhruddin dan putranya
yang bernama La Tenrisessu Arung Pancana ke Jawa untuk membantu kompeni
Belanda menumpas pemberontakan orang-orang Cina disana. La Tenrioddang
bersama kemenakannya dapat menunjukkan keberaniannya dalam pertempuran
melawan orang-orang Cina, pemberontakan tersebut dapat segera ditumpas.
-Semoga Bermanfaat-
No comments:
Post a Comment